Hingga kini, isu penculikan anak menakutkan bagi banyak orangtua. Masyarakat Kota Padang resah terkait isu penculikan anak. Sadisnya, terkuak kabar, bila penculikan berhasil, anak tersebut akan diambil organ tubuhnya.
Kabar menakutkan itu tidak hanya menyebar lewat sejumlah short message service (SMS), tapi juga sudah berani memberi kabar langsung lewat telepon (Singgalang, 10 Desember 2010).
Isu penculikan anak di Payakumbuh dan Limapuluh Kota juga makin marak. Bahkan sejumlah SMS beredar di telepon genggam warga. Akibatnya, isu penculikan anak itu meresahkan masyarakat (Singgalang, 11 Desember 2010).
Isu itu, entah benar atau tidak, tentu menambah kencang detak jantung setiap orangtua, para pecinta anak-anak, dan kaum humanis. Memang, satu demi satu penculik anak ditindak selama ini, tapi tetap tidak mampu menenangkan keresahan kita. Sebab, hukuman yang diharapkan sebagai efek jera bagi masyarakat ternyata tidak terlalu signifikan.
Ada payung kebijakan kita lewat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahkan Bab XII sudah mengatur tentang ketentuan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000 (poin a, b, dan c). Dan khusus penculik dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000 (Pasal 83).
Mengapa masyarakat tidak jera? Apa kebijakan publik berikutnya yang bisa melenyapkan (paling kurang mengurangi) penculikan anak?
Secara teoritis, kejahatan bisa terjadi jika ada kemauan, calon pelaku memiliki kemampuan, dan ada kesempatan. Jika begitu, setiap manusia memiliki minimal satu kriteria, yaitu kesempatan. Setiap orang pernah bergesekan dengan anak kecil yang sendirian, tersesat, dan atau dalam perlindungan orang yang memiliki kekuatan lebih lemah.
Sedangkan kemauan dan kemampuan untuk menculik anak belum tentu bisa dimiliki setiap orang. Kemauan adalah suatu hasil akhir dari perjalanan hati-nurani yang dipengaruhi oleh stimulasi di masa silam.
Kemampuan adalah sumber daya, baik berupa kekuatan fisik, keberanian, dan (mungkin) uang serta peralatan. Aspek kemauan dan kemampuan adalah milik sang calon penculik. Sedangkan aspek kesempatan melulu milik anak (calon yang diculik). Agama mengajarkan cinta terhadap sesama manusia dan semua makhluk ciptaan Tuhan. Kesenian memperhalus senar jiwa dan nurani. Namun sampai hari ini, kualitas beragama kita masih abangan (meminjam terminologi Clifford Gertz).
Yang kita capai masih sebatas rajin mengikuti ritualnya, rajin mendirikan rumah ibadahnya, rajin mengoleksi simbol-simbol, dan bahkan rajin menulis identitas pribadi. Mutu beragama kita masih jauh dari inti-harapan Tuhan.
Kesenian di negeri ini masih bermotif kapitalis-materialisme. Kesenian sebagai industri yang selalu diperhitungkan untuk mendatangkan materi. Kesenian yang hingar-bingar, kesenian yang membuat penonton beringas, yang membuat konsumennya liar-binal, ganas, lalu meresahkan. Kesenian seperti ini dekat dengan kerusuhan, dekat dengan kekerasan, dekat dengan maksiat.
Kita berkesenian bukan untuk ketenangan, kontemplasi, refleksi, permenungan, dan mencerahkan. Adi MS, Idris Sardi, dan Ebiet G Ade adalah pelaku musik kontemplasi-jiwa yang masih belum berdaya-jumlahnya di tengah tebaran kapitalis-materialis yang menyamar di dunia kesenian.
Belum lagi dari karya sastra, ukir, lukis, tari, yang mengeksploitasikan selangkangan dan kekerasan. Jadi, pelaku dan penikmat seni kapitalis-materialis pun amat banyak. Ini berarti sangat banyak masyarakat kita yang bersenar jiwa kasar dan selalu dipastikan menjadi calon penculik anak.
Pemerintah selalu gagal memenuhi janji dan tujuan Indonesia yang sejahtera lahir-batin. Kemiskinan bertebaran. Kemiskinan, kebodohan, dan KKN yang melanda negeri ini membuat potensi senar jiwa yang kasar dan brutal tadi mendapat dorongan untuk merealisasikan menjadi penculik. Ini berarti pemerintah turut andil dalam melahirkan calon penculik.
Dalam kondisi seperti ini, berarti setiap orang Indonesia harus selalu yakin bahwa dia hidup (setiap saat) berdampingan dengan calon penculik. Kesadaran seperti ini bukan dalam rangka untuk menjauhkan anak dari manusia yang ada, melainkan agar jangan pernah menciptakan kesempatan bagi calon penculik untuk menjadi penculik benaran.
Kalau kita mendaftar lokasi hidup, maka sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah (bersama orang tua), sekolah (bersama guru), dan tempat rekreasi. Oleh karena itu, setiap terjadi kasus anak diculik, berarti kesempatan sudah diciptakan oleh orang tua, guru, dan pengusaha.
Anak diculik di sekolah, berarti sekolah menciptakan kesempatan bagi penculik. Anak diculik di luar sekolah, berarti kesempatan sudah diciptakan oleh orang tua. Anak diculik di tempat rekreasi, berarti orangtua dan pengusaha taman rekreasi sudah menciptakan kesempatan bagi penculik.
Ada pula anak ditinggal sendirian di rumah. Anak bermain sendirian jauh dari rumah tanpa pengawasan. Anak pulang sekolah sendirian atau dijemput oleh orang yang kekuatannya lemah. Atau anak diajak ke suatu lokasi piknik atau pesta lalu terlepas dari orang tuanya. Bila penculikan terjadi dalam kondisi seperti ini, maka orangtualah sang pencipta kesempatan bagi penculik.
Bila diculik di sekolah (apapun alasannya), maka kesempatan bagi penculik sudah diciptakan oleh sekolah. Sekolah yang memulangkan anak lebih awal atau lebih terlambat dari jadwal yang normal tanpa terlebih dahulu berkomunikasi dengan pihak orangtua, maka kesempatan penculikan sudah diciptakan oleh sekolah.
Seringkali anak-anak tertarik dengan suatu tawaran di lokasi rekreasi, mal, (tanpa memberi tahu orangtua yang mendampinginya) mereka langsung memisahkan diri dari orangtuanya, sehingga mereka menjadi sasaran penculikan. Atau anak yang sudah tidak kuat berjalan-jalan dengan orangtuanya, lalu mereka memisahkan diri dari orangtuanya, maka itu berarti kesempatan sudah diciptakan oleh orangtua dan pengusaha. Pemerintah wajib menciptakan suasana aman di setiap ruang dan waktu di republik ini. Cara-cara yang efektif dan efisien harus diciptakan pemerintah agar mencapai kondisi aman.
Apapun alasan pemerintah, setiap terjadi penculikan anak, berarti di lokasi itu dan di saat itu permerintah sudah gagal menciptakan keamanan bagi anak. Selama tidak ada aparat, peralatan, dan sarana keamanan lainnya di lokasi tersebut, maka sama saja pemerintah sudah menciptakan kesempatan bagi calon penculik untuk menculik anak.
Untuk itulah, isu dan kasus penculikan anak yang marak (meskipun para penculiknya sudah banyak ditindak) terjadi selama ini tidak pernah terlepas dari adanya pihak pencipta kesempatan bagi penculik. Pihak-pihak itu adalah orangtua, sekolah, para pengusaha, dan pemerintah. Namun sayangnya, setiap kali terjadi penculikan anak, yang ditindak secara hukum (terutama menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) selalu para penculiknya yang memiliki kemauan dan kemampuan.
Para orangtua, sekolah, pengusaha, dan pemerintah yang menciptakan kesempatan bagi penculik tidak ditindak juga. Inilah yang membuat orangtua, sekolah, pengusaha dan pemerintah selalu menciptakan kesempatan bagi penculikan.
Pasal 77 poin (b) mengatakan: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, maka poin (c) mengatakan bahwa: dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
Tapi orangtua, sekolah, pengusaha, dan pemerintah bisa saja mengatakan bahwa tidak sengaja. Oleh karena itu, tiadakan frasa dengan sengaja pada Pasal 77 menjadi: Setiap orang yang melakukan tindakan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, maka pon (c) mengatakan bahwa: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
Untuk saat ini, para orang tua tentu jangan menciptakan kesempatan bagi penculikan anaknya. Anaknya jangan dibiarkan dijemput oleh pembantu mereka yang perempuan, masih polos, tanpa dilengkapi sistem dan peralatan komunikasi sehingga dengan mudah dibawa penculik tanpa perlawanan dan tanpa tindakan dengan segera menghubungi pihak-pihak yang berkepentingan. Tindakan semacam itu amatlah penting untuk menghindari terciptanya kesempatan (sengaja maupun tidak) bagi penculikan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar